Sabtu, 22 Maret 2014

Jurnal Geolingkungan Dan Sumber Daya Alam KONSERVASI WILAYAH PESISIR PANTAI UJUNG BLANG DI LHOKSEUMAWE

jurnal Geografi linkungan dan sumber daya Alam
Konservasi Wilayah Pesisir Pantai Ujung Blang diLhoksemawe
Disusun Oleh:
Usup Setiawan
1206101040018


Dosen Pembimbing:
Daska Aziz S.pd , MA




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2014


KATA PENGANTAR


Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Penelitian  “Geografi Lingkungan dan Sumber Daya Alam” ini tepat pada waktunya dan dengan baik. Selawat beserta salam penulis hadiahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari alam keabodohan menuju alam yang penuh dngan ilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan saat ini.
Penulis juga menyadari bahwa terselesaikan laporan penelitian ini tidak terlepas dari bimbingan, petunjuk, nasehat,serta bantuan dari berbagai pihak yang penulis terima selama penulisan laporan jurnal ini.
Dalam menyusun laporan penelitian ini tidak lepas dari adanya kekurangan karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Oleh karena itu, penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun demi tercapainya kesempurnaan dari penyusunan laporan penelitian  ini. Akhirnya, dengan segala kerendahan hati yang tulus, penulis berharap dapat memberikan manfaat bagi mahasiswa geografi pada khususnya serta para pembaca pada umumnya. Terima kasih.


Darussalam, 02 Januari 2014
Penulis

Usup Setiawan





ABSTRAK


Kota Lhokseumawe di sebelah barat, timur dan selatannya dibatasi oleh Kecamatan Dewantara, Kecamatan Syamtalira Bayu dan Kecamatan Kuta Makmur Kabupaten Aceh Utara dan sebelah utara oleh Selat Melaka.
Letak geografi kota Lhokseumawe berada pada posisi 4º 54' – 5º 18' Lintang Utara (LU) dan 96º 20' – 97 º 21' Bujur Timur (BT).
Luas wilayah Kota Lhokseumawe adalah km² dengan jumlah penduduk 188,974 orang. Ia terbahagi kepada 101 desa dan 6 kelurahan yang tersebar di empat kecamatan: Banda Sakti, Muara Dua, Muara Batu dan Blang Mangat. Lapangan Terbang Malikus Saleh berada di wilayah kota ini.
Pantai Ujong Blang adalah salah satu dari beberapa pantai yang berada di Kota Lhokseumawe, Aceh Utara yang cukup terkenal. Pantai Ujong Blang terhampar dari muara sungai Cunda (kuala cangkoi) yang meliputi empat wilayah desa yaitu Desa Ujong Blang, Ulee Jalan, Hagu Barat Laut, dan Desa Hagu Tengah.
Objek wisata Pantai Ujong blang dinamakan berdasarkan desa di mana pantai ini berada. Arti “Ujong Blang” sendiri dalam bahasa aceh adalah “ujong” berarti ujung dan “blang” berarti sawah atau hamparan kebun. Karena pada awalnya, wilayah Lhokseumawe terdiri dari areal sawah, rawa, dan tanah kosong.
Kata kunci dari konservasi wilayah pesisir mencakup pemanfaatan, perlindungan, pelestarian, serta terjaminnya ekosistem yang berkesinambungan. Hal tersebut dilakukan karena sumberdaya pesisir baik flora, fauna, dan ekosistem memiliki kegunaan dan nilai  ekologis, ekonomis dan sosial yang penting.
Pada saat ini program/strategi konservasi wilayah pesisir menjadi agenda penting mengingat kerusakan sumberdaya pesisir akibat pencemaran yang berasal dari wilayah pesisir dan sekitarnya. Dampak pencemaran dan kerusakan lingkungan di wilayah pesisir dapat membahayakan kelestarian ekosistem pesisir. Ekosistem pesisir yang rusak dapat mengganggu kehidupan dan penghidupan manusia, spesies lain dan lingkungannya. Fenomena kerusakan wilayah pesisir dapat dipantau baik melalui media cetak dan elektronik maupun dapat dilihat secara langsung di lapangan. Kerusakan wilayah pesisir bukan hanya oleh penduduk wilayah pesisir saja, tetapi juga oleh penduduk sekitarnya.
Ancaman utama pada keanekaragaman hayati di wilayah pesisir adalah terjadinya kerusakan lingkungan dan kepunahan habitat. Oleh karena itu, cara yang paling baik untuk melindungi keanekaragaman hayati yaitu dengan cara melakukan konservasi.


BAB I

PENDAHULUAN


1.1   Latar Belakang

            Konservasi wilayah pesisir yang dimaksud adalah upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan dan kesinambungan sumberdaya pesisir dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman hayati (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2007: 3).
            Kata kunci dari konservasi wilayah pesisir mencakup pemanfaatan, perlindungan, pelestarian, serta terjaminnya ekosistem yang berkesinambungan. Hal tersebut dilakukan karena sumberdaya pesisir baik flora, fauna, dan ekosistem memiliki kegunaan dan nilai  ekologis, ekonomis dan sosial yang penting.
            Kualitas dan keanekaragaman hayati wilayah pesisir harus terus dikonservasi sehingga keanekaragaman hayatinya terus meningkat dan kondisi ekosistem dalam keadaan homeostatis. Sebaliknya, jika suatu ekosistem pesisir menunjukkan  keanekaan hayatinya mengalami penurunan harus diwaspadai sebagai tanda perlunya upaya untuk pemulihan kembali. Sebab jika tidak dilakukan konservasi bukan saja ekosistem pesisir yang rusak, tetapi juga nasib manusia  (masyarakat pesisir) yang terancam.
            Pada saat ini program/strategi konservasi wilayah pesisir menjadi agenda penting mengingat kerusakan sumberdaya pesisir akibat pencemaran yang berasal dari wilayah pesisir dan sekitarnya. Dari daerah sekitarnya berupa pencemaran limbah domestik, limbah industri, bahkan adanya erosi dari lahan pertanian yang topografinya curam. Sedangkan dari wilayah pesisir berupa pencemaran yang berasal dari pertanian, perikanan, serta kegiatan lainnya.
            Dampak pencemaran dan kerusakan lingkungan di wilayah pesisir dapat membahayakan kelestarian ekosistem pesisir. Ekosistem pesisir yang rusak dapat mengganggu kehidupan dan penghidupan manusia, spesies lain dan lingkungannya. Seperti dengan keanekaragaman hayati menurun menunjukkan terjadinya kepunahan spesies tertentu. Kepunahan spesies tertentu dapat mengganggu keseimbangan ekosistem pesisir, karena akan menyebabkan spesies lain akan melimpah sehingga rantai makanan terganggu. Padahal dalam sistem rantai makanan sebelumnya  sudah demikian teratur.

1.2   Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:
  1. Tujuan Umum
Memperoleh gambaran pelaksanaan konservasi wilayah pesisir sesuai dengan tujuan  kelestarian ekosistem wilayah pesisir
  1. Tujuan Khusus
Agar masyarakat lebih memahami dan mengetahui seberapa penting kelestarian lingkungan di wilayah pesisir bagi kehidupan ekosistem pantai, laut dan masyarakat pesisir.

1.3    Manfaat Penulisan

 Adapun manfaat penulisan karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut:
  1. Sebagai bahan pemikiran pada masyarakat dalam upaya meningkatan kelestarian wilayah pesisir
  2. Untuk mengetahui apakah dengan konservasi dapat meningkatkan keanekaragaman hayati dan kondisi ekosistem dalam keadaan baik atau sebaliknya
1.4    Metode penulisan
Dalam penulisan karya tulis ini untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan penulis menggunakan metode penulisan sebagai berikut. Studi Kepustakaanyaitu penulis membaca buku-buku, literatur, internet, dan sumber-sumber yang dapat  dipercaya berkaitan dengan penelitian ini.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA


           Saat ini degradasi lingkungan wilayah pesisir sudah mengancam kehidupan dan penghidupan manusia serta ekosistemnya. Rusaknya ekosistem pesisir mengakibatkan nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung, nilai guna pilihan, serta nilai guna konsumtif  tidak berfungsi lagi. Otomatis fungsi lingkungan hidup dari wilayah pesisir pun terganggu. Oleh karena itu, untuk menjawab tantangan tersebut maka jawabanya adalah konservasi, karena konservasi dapat melindungi, melestarikan dan memanfaatkan ekosistem wilayah pesisir secara berkelanjutan.
Pengembangan ekonomi masyarakat pesisir berbasis potensi dan kondisi sosial budaya setempat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir secara optimal dan berkelanjutan. Peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir merupakan salah satu kunci dalam mengurangi tekanan terhadap ekosistem laut dan pesisir dari pemanfaatan sumber daya yang tidak terkendali.

2.1   Ancaman Kerusakan Wilayah Pesisir

Fenomena kerusakan wilayah pesisir dapat dipantau baik melalui media cetak dan elektronik maupun dapat dilihat secara langsung di lapangan. Kerusakan wilayah pesisir bukan hanya oleh penduduk wilayah pesisir saja, tetapi juga oleh penduduk sekitarnya. Penduduk pesisir  biasanya membuang limbah domestik  (sampah, hasil pengolahan ikan, dan kegiatan lainnya). Sedangkan penduduk sekitarnya tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi, termasuk dalam kegiatan pertanian sehingga menimbulkan erosi. Erosi dan limbah dari daerah sekitarnya akan masuk ke sungai dan mengalir ke wilayah pesisir. Oleh karena itu, wilayah pesisir sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan.
Wilayah pesisir tergolong sumberdaya milik bersama, harus tetap lestari dan berkelanjutan. Dengan telah terjadinya perubahan kondisi lingkungan berupa erosi dan pencemaran akan dapat mengancam keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam. Menurut Hardin (1968: 162)  bahwa pemanfaatan sumberdaya milik bersama harus mempertimbangkan faktor internalitas lingkungan dan faktor ekstenalitas lingkungan. Yang dimaksud dengan internalitas lingkungan adalah mengambil peran (bertanggungjawab) untuk mengelola dampak lingkungan yang dapat merugikan keselamatan manusia dan lingkungan sekitarnya. Sedangkan eksternalitas lingkungan adalah perilaku yang tidak bertanggungjawab atas kegiatan yang dilakukannya sehingga dapat merugikan manusia dan lingkungan sekitarnya.
Sumberdaya yang ada di wilayah pesisir sebagai sumberdaya milik bersama memiliki  manfaat ekologis yakni (1) nilai guna langsung; (2) nilai guna tidak langsung; (3) nilai guna pilihan; dan (4) nilai guna nonkonsumtif  (Wiratno et. al, 2004:144). Nilai guna langsung, meliputi komoditas pangan yang dihasilkan kawasan, produk-produk hutan atau laut dan manfaat rekreasi. Nilai guna tidak langsung, meliputi manfaat-manfaat fungsional dari proses ekologis yang secara terus menerus memberikan perannya kepada masyarakat maupun ekosistem. Nilai guna pilihan, meliputi manfaat sumberdaya alam yang tersimpan atau dipertahankan bagi kepentingan masa depan, misalnya sumber daya hutan yang menyimpan plasma nutfah atau sumber genetik. Nilai guna nonkonsumtif, meliputi nilai keberadaan, yaitu nilai yang diberikan masyarakat kepada kawasan konservasi atas manfaat spiritual, estetika dan kultural; serta nilai warisan, yaitu nilai yang diberikan masyarakat yang hidup saat ini terhadap suatu sumber daya tertentu agar tetap utuh dan bisa dimanfaatkan oleh generasi mendatang.
            Oleh karena itu, apabila terjadi  kerusakan lingkungan yang parah, diduga sumberdaya milik bersama ini akan kehilangan nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung, nilai guna pilihan dan nilai guna nonkonsumtif seperti yang diuraikan sebelumnya. Terjadinya kerusakan lingkungan mengakibatkan habitat alami rusak.
Menurut Primack (1998: 59) bahwa di banyak wilayah kepulauan atau tempat-tempat yang banyak penduduknya, hampir semua habitat alami telah rusak, 47 negara dari 57 negara tropik di Afrika dan Asia telah kehilangan 50% atau lebih habitat hutan tropiknya. Bahkan di Asia, 65% habitat hutan tropiknya telah musnah.
            Berdasarkan uraian di atas, ancaman utama pada keanekaragaman hayati di wilayah pesisir adalah terjadinya kerusakan lingkungan dan kepunahan habitat. Oleh karena itu, cara yang paling baik untuk melindungi keanekaragaman hayati yaitu dengan cara melakukan konservasi.

2.2   Tipologi Wilayah Pesisir

            Kondisi fisik habitat wilayah pesisir banyak dipengaruhi oleh perubahan yang ada di daratan maupun lautan. Wilayah pesisir dalam Undang-undang No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
            Dahuri (2003: 26- 143) membagi wilayah pesisir secara garis besar ke dalam dua kelompok ekosistem, yakni ekosistem yang tidak tergenang air dan ekosistem yang tergenang air. Ekosistem yang tidak tergenang air mencakup (1) formasi pescaprae dan (2) formasi barringtonia.
1. Ekosistem yang tidak tergenang air
  1. Formasi Pescaprae dikenal dengan sebutan gosong pantai berpasir. Formasi ini didominasi tumbuhan pionir, terutama kangkung laut (Ipomoea pescaprae). Orang kebanyakan melihat tumbuhan ini terkadang dianggap mengganggu pemandangan di pantai, padahal tumbuhan ini berfungsi sebagai pelindung pantai. yang dapat menahan ombak.
  2. Formasi barringtonia ditandai dengan komunitas rerumputan dan belukar yang ada di pantai berbatu tanpa pasir (gravvel). Formasi ini ditumbuhi cemara laut (Casuarina equisitifol) dan Callophyllum innophyllum.
2.  Ekosistem yang tergenang air
Ekosistem yang tergenang air meliputi (1) terumbu karang (2) padang lamun (3) hutan mangrove (4) estuaria dan (5) rumput laut. Berikut ini diuraikan sepintas tentang ekosistem pesisir yang tergenang air.
  1. Terumbu karang
Terumbu karang berkembang baik hanya di daerah tropik. Terumbu  karang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat yang dihasilkan oleh hewan karang (filum Scnedaria, kelas Anthozoa, ordo Madreporaria Scleractinia), alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken, 1986: 25). Hewan karang termasuk kelas Anthozoa berarti hewan berbentuk bunga (Antho artinya bunga; zoa artinya hewan).
Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh kemampuan terumbu karang untuk menahan nutrien dalam sistem dan berperan sebagai kolam untuk menampung segala masukan dari luar. Nilai produksi bersih terumbu karang berkisar 300-5000 g C (Carbon) m2 per tahun, lebih tinggi dari ekosistem sekitarnya (Nybakken, 1986: 27)
Secara ekologis, terumbu karang dapat berfungsi melindungi komponen ekosistem pesisir lainnya dari gempuran gelombang dan badai. Terumbu karang termasuk ekosistem yang sangat rentan terhadap gangguan akibat kegiatan manusia. Apabila rusak, terumbu karang memerlukan pemulihan dengan kurun waktu yang cukup lama.
Adapun yang menjadi parameter ekosistem terumbu karang yaitu tingkat kejernihan air laut, temperatur, salinitas, sirkulasi arus dan sedimentasi. Faktor sedimentasi dapat menutupi permukaan terumbu karang, sehingga berdampak negatif terhadap hewan karang dan biota yang berasosiasi dengan habitatnya.
  1. Padang lamun
Padang lamun. Tumbuhan lamun (seagrasses) termasuk tumbuhan berbunga (Angiospemae) yang telah sepenuhnya beradaptasi hidup terbenam di dalam laut. Tumbuhan ini mempunyai sifat yang memungkinkan hidup yakni karena (1) mampu hidup pada media air asin; (2) mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam; (3)mempunyai sistem perakaran jangkar yang berkembang baik; (4) mampu melaksanakan penyerbukan dan daur generatif dalam keadaan terbenam. Tanaman lamun memiliki bunga dan buah yang kemudian berkembang menjadi benih.
Lamun tumbuh subur terutama di daerah terbuka pasang surut dan perairan pantai yang dasarnya berupa lumpur, pasir, kerikil, patahan karang mati dengan kedalaman sampai empat meter. Padang lamun dapat berbentuk vegetasi tunggal, tersusun atas  satu jenis lamun yang tumbuh membentuk padang lebat, sedangkan vegetasi campuran terdiri dari dua sampai 12 jenis lamun yang tumbuh bersama-sama pada satu substrat. Spesies lamun yang tumbuh dengan vegetasi tunggal adalah Thalassia henprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Cynmodocea serrulata, dan Thalassodendrom ciliatum. Pada substrat berlumpur di daerah mangrove ke arah laut, sering dijumpai padang lamun dari spesies tunggal yang berasosiasi tinggi (Dahuri, 2003: 39). Adapun yang menjadi parameter pertumbuhan ekosistem lamun mencakup tingkat kejernihan air laut, temperatur, salinitas, substrat dan  kecepatan arus perairan.
  1. Hutan mangrove
Hutan mangrove ada yang menyebut sebagai hutan pasang surut, hutan payau atau hutan bakau. Bakau sebenarnya menunjukkan kepada salah satu jenis tumbuhan yang menyusun hutan mangrove yaitu jenis Rhizophora spp. Pemberian istilah hutan bakau dinilai kurang tepat, namun sebutan yang tepat adalah hutan mangrove.
Hutan mangrove termasuk hutan tropika dan subtropika yang tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai serta dipengaruhi pasang surut air laut. Mangrove banyak tumbuh  pada wilayah pesisir yang dapat menahan ombak serta berada pada daerah yang landai. Pertumbuhan yang optimal dari mangrove spesies Rhyzophora spp terutama pada wilayah pesisir yang memiliki sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur.
Pertumbuhan mangrove mengikuti pola zonasi. Pola zonasi berkaitan erat dengan faktor lingkungan seperti kondisi tanah (lumpur, pasir, gambut), keterbukaan terhadap hempasan gelombang, salinitas serta pengaruh pasang surut. Pembentukan zonasi dimulai dari arah laut menuju daratan, yang terdiri dari zona Avicennia dan Sonneratia yang berada paling depan serta berhadapan dengan laut. Zona dibelakangnya berturut-turut Rhizhopora, Bruguiera, dan Ceriops (Dahuri, 2003: 60).
Adapun yang menjadi parameter lingkungan utama dalam menentukan pertumbuhan mangrove antara lain suplai air tawar dan salinitas, pasokan nutrien, dan stabilitas substrat. Berdasarkan parameter tersebut, menunjukkan bahwa adanya sungai yang bermuara ke laut yang membawa air tawar yang diikuti dengan sejumlah nutrien merupakan faktor kunci pertumbuhan mangrove.
Ekosistem hutan mangrove secara ekologis memiliki fungsi sebagai tempat mencari makan, memijah, memelihara berbagai macam biota perairan (ikan, udang, dan kerang-kerangan). Hutan mangrove merupakan habitat berbagai jenis satwa, baik sebagai habitat pokok maupun habitat sementara, penghasil sejumlah detritus, dan perangkap sedimen. Dari segi ekonomi, vegetasi ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber penghasil kayu bangunan, bahan baku kertas, kayu bakar, arang, alat tangkap ikan dan sumber bahan lain, seperti tannin dan pewarna (Mukkhtasor, 2007: 36).
Hasil penelitian MacFarlane et. al. (2003: 139-151) menunjukkan bahwa akar mangrove spesies Avicennia marina atau sebutan masyarakat adalah api-api digunakan sebagai indikator biologis lingkungan yang tercemar logam berat terutama tembaga (Cu), timbal (Pb), dan seng (Zn) melalui monitoring secara berkala. Hal ini menunjukkan spesies Avicennia marina memiliki toleransi yang besar serta mengakumulasi berbagai jenis logam. Sementara spesies mangrove jenis lainnya kurang toleran terhadap logam berat. 
Apabila suatu daerah pesisir yang tercemar logam berat, seperti yang diuraikan di atas maka hanya mangrove spesies Avicennia marina saja yang dapat bertahan. Artinya spesies mangrove lainnya tidak dapat bertahan karena tidak mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan.
  1. Estuaria 
Estuaria adalah wilayah sungai yang ada di bagian hilir dan bermuara ke laut,  sehingga memungkinkan terjadinya pencampuran antara air tawar dan air laut. Estuaria didominasi oleh substrat lumpur yang berasal dari endapan yang dibawa oleh air tawar sehingga bersatu dengan air laut. Partikel yang mengendap kebanyakan bersifat organik, substrat dasar estuaria kaya akan bahan organik. Bahan organik tersebut sebagai cadangan makanan utama,  bagi pertumbuhan mangrove dan organisme lainnya. Komponen fauna estuaria dihuni oleh biota air laut dan air tawar. Komponen fauna estuaria didominasi hewan stenohaline dan hewan eurihaline. Hewan stenohaline adalah hewan yang terbatas kemampuannya dalam mentolerir perubahan salinitas sampai 30 permil. Sedangkan hewan eurihaline adalah hewan khas laut yang mampu mentolerir penurunan salinitas hingga di bawah 30 permil.
Parameter lingkungan utama ekosistem estuaria antara lain sirkulasi air, partikel tersuspensi dan kandungan polutan. Dengan demikian ekosistem estuaria ini sangat sensitif terhadap perubahan sirkulasi air, tersuspensinya partikel dan polutan.

  1. Rumput laut
Rumput laut (seaweed) dapat hidup pada perairan yang cukup cahaya. Nutrien yang diperlukan oleh rumput laut diperoleh langsung dari air laut. Nutrien tersebut dihantarkan melalui upwelling, turbulensi dan masukan dari daratan.
Rumput laut memiliki produktivitas  yang cukup besar, dan hewan pemangsa langsung rumput laut relatif sedikit. Diperkirakan produksi bersih rumput laut yang memasuki jaring makanan melalui pemangsaan hanya 10 %, sisanya 90 % masuk melalui rantai bentuk detritus atau bahan organik terlarut (Nybakken, 1986: 61).
Berdasarkan uraian di atas tentang ekosistem pesisir yang tidak tergenang air dan yang tidak tergenang air menunjukkan bahwa ekosistem tersebut memiliki nilai yang sangat penting bagi manusia dan lingkungannya. Terpeliharanya ekosistem pesisir dapat memberikan manfaat bukan hanya untuk saat ini saja, tetapi untuk masa yang akan datang. Ekosistem pesisir memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan terutama dalam bidang jasa-jasa lingkungan. Jasa-jasa lingkungan tersebut anatar lain kegiatan parisiwata, pendidikan dan penelitian wilayah pesisir.


BAB III

ISI


3.1   Konservasi Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan

            Konservasi wilayah pesisir di sini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini dan kebutuhan generasi mendatang. Pembangunan yang berkelanjutan dilaksanakan tanpa mengurangi fungsi lingkungan hidup. Lingkup pembangunan berkelanjutan meliputi aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial yang diterapkan secara seimbang serasi selaras dengan alam. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 32 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 1 ayat 3, bahwa pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial dan ekonomi.
            Purba ed. (2002: 18-20) mengemukakan lima prinsip utama pembangunan berkelanjutan yakni dengan menggunakan prinsip (1) keadilan antar generasi; (2) keadilan dalam satu generasi; (3) pencegahan dini; (4) perlindungan keanekaragaman hayati; dan (5) internalisasi biaya lingkungan dan mekanisme insentif.
            Kelima prinsip di atas, mengandung arti bahwa pembangunan harus memberikan jaminan supaya serasi, selaras dan seimbang dengan daya dukung lingkungan. Oleh karena itu, daya dukung lingkungan yang ada di wilayah pesisir seharusnya tetap terpelihara dan terjaga baik sehingga dapat dimanfaatkan secara terprogram secara lestari bagi kesejahteraan generasi mendatang.
           Kerusakan lingkungan telah terjadi di wilayah pesisir yang diakibatkan oleh perilaku manusia di wilayah pesisir dan di daerah sekitarnya. Kerusakan lingkungan tersebut dapat  mengancam fungsi lingkungan hidup wilayah pesisir. Fungsi lingkungan hidup akan mengancam kelestarian tipologi ekosistem pesisir, yang meliputi ekosistem yang tidak tergenang air dan ekosistem yang  tergenang air. Konservasi wilayah pesisir sebagaimana telah diuraikan sebelumnya adalah  upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan dan kesinambungan sumberdaya pesisir dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman hayati (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2007: 3).
            Dalam konservasi ada aspek yang tidak boleh diabaikan yaitu kondisi lingkungan, ekonomi, dan sosial. Lingkungan yang dimaksud mencakup tumbuhan dan hewan harus sesuai dengan habitatnya sehingga dapat tumbuh optimal. Ekonomi yang dimaksud bahwa untuk melakukan konservasi membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Konservasi harus memperhitungkan faktor biaya penanaman, biaya perawatan, dan biaya pengamanan. Faktor sosial yang dimaksud adalah bahwa dalam konservasi selayaknya melibatkan masyarakat. Karena dengan melibatkan masyarakat, tumbuhan dipelihara, dijaga dan dirawat sesuai dengan kearifan budayanya.
Manfaat konservasi wilayah pesisir yaitu manfaat biogeografi, keaneka-ragaman hayati, perlindungan terhadap spesies endemik dan spesies langka, perlindungan terhadap spesies yang rentan dalam masa pertumbuhan, pengurangan mortalitas, perlindungan pemijahan, manfaat penelitian, ekoturism, dan peningkatan produktivitas perairan (Fauzi dan Anna (2005: 73). Manfaat konservasi tersebut, mencakup manfaat langsung maupun tidak langsung. Manfaat konservasi wilayah pesisir tidak hanya bersifat terukur (tangible), tetapi ada juga yang tidak terukur (intangible). Manfaat yang terukur mencakup manfaat kegunaan baik untuk dikonsumsi maupun tidak. Sedangkan manfaat tidak terukur lebih tertuju pada manfaat pemeliharaan ekosistem dalam jangka panjang.
            Kegiatan pemanfaatan, perlindungan dan pelestarian di wilayah pesisir, selayaknya dengan menggunakan pendekatan secara bottom up. Pendekatan ini, sudah mengakomodir kebutuhan masyarakat yang ada di lapangan. Dengan kata lain pendekatan ini sudah sesuai dengan program yang sudah disusun komunitas (masyarakat pesisir).

3.2  Kebijakan, Strategi Dan Perencanan Pengelolaan Wilayah Pesisir

Menteri Kimpraswil dalam Seminar Umum Dies Natalis ITS ke-34 menyatakan beberapa kebijakan nasional yang terkait dengan pengelolaan wilayah laut dan pesisir adalah sebagai berikut :
  1. Revitalisasi kawasan berfunsi lindung, mencakup kawasan-kawasan lindung yang terdapat di wilayah darat dan wilayah laut/pesisir, daalm rangka menjaga kualitas lingkungan hidup sekaligus mengamankan kawasan pesisir dari ancaman bencana alam. Salah satu factor penyebab berbagai permasalahan di wilayah laut dan pesisir adalah hilangnya fungsi lindung kawasan-kawasan yang seharusnya ditetapkan sebagai kawasan lindung, termasuk kawasan lindung di wilayah daratan yang mengakibatkan pendangkalan perairan pesisir, kerusakan padang lamun, dan kerusakan terumbu karang (coral bleaching).
  2. Pengembangan ekonomi masyarakat pesisir berbasis potensi dan kondisi sosial budaya setempat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir secara optimal dan berkelanjutan. Peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir merupakan salah satu kunci dalam mengurangi tekanan terhadap ekosistem laut dan pesisir dari pemanfaatan sumber daya yang tidak terkendali.
  3. Peningkatan pelayanan jaingan prasarana wilayah untuk menunjang pengembangan ekonomi di wilayah laut dan pesisir. Ketersediaan jaringan prasrana wilayah yang memadai akan menunjang pemanfaatan sumber daya kelautan dan pesisir secara optimal serta menunjang fungsi pesisir sebagai simpul koleksi-distribusi produk kegiatan ekonomi masyarakat.
Menurut Nurmalasari, strategi pengembangan masyarakat pesisir dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu, yang bersifat struktural dan non structural. Pendekatan structural dalah pendekatan makro yang menekankan pada penataan sisitem dan struktur sosial politik. Pendekatan ini mengutamakan peranan instansi yang berwenang atau organisasi yang dibentuk untuk pengelolaan pesisir laut. Dalam hal ini peranan masyarakat sangat penting tetapi akan kurang kuat karena aspek struktural biasanya lebih efektif bila dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai kewenangan, paling tidak pada tahap awal. Dilain pihak pendekatan non struktural adalah pendekatan yang subyektif. Pendekatan ini mengutamakan pemberdayaan masyarakat secara mental dalam rangka meningkatkan kemampuan anggota masyarakat untuk ikut serta dalam pengelolaan dan persoalan pesisir laut. Kedua pendekatan tersebut harus saling melengkapi dan dilaksanakan secara integratif.
Sasaran utama pendekatan structural adalah tertatanya struktur dan sistem hubungan antara semua komponen dan system kehidupan, baik di wilayah pesisir dan laut maupun komponen pendukung yang terkait, termasuk komponen sosial, ekonomi dan fisik. Dengan penataan aspek structural, diharapkan masyarakat mendapatkan kesempatan lebih luas untuk memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan. Selain itu penataan struktur dan sisitem hubungan sosial dan ekonomi tersebut diharapkan dapat menciptakan peluang bagi masyarakat untuk ikut serta melindungi sumber daya alam dari ancaman yang dating baik dari dalam maupun dari luar. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi bahkan menghilangkan masalah-masalah sosial dan ekonomi yang utama yang selama ini secara terus-menerus menempatkan masyarakat (lokal) pada posisi yang sulit.
Pendekatan subyektif atau non-struktural adalah pendekatan yang menempatkan manusia sebagai subyek yang mempunyai keleluasaan untuk berinisiatif dan berbuat menurut kehendaknya. Pendekatan tersebut berasumsi bahwa masyarakat lokal dengan pengetahuan, keterampilan dan kesadarannya dapat meningkatkan peranannya dalam perlindungan sumber daya alam sekitarnya. Karena itu, salah satu upaya untuk meningkatkan peran masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan wilayah pesisir dan laut adalah dengan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyarakat untuk ebrbuat sesuatu demi melindungi sumber daya alam. Pengetahuan dan keterampilan tersebut tidak harus berkaitan langsung dengan upaya-upaya penanggulangan maslah kerusakan sumber daya alam tetapi juga hal-hal yang berkaitan dengan usaha ekonomi, terutama dalam rangka membekali masyarakat dengan usaha ekonomi alternative sehingga tidak merusak lingkungan, antara lain yaitu :
  • Peningkatan pengetahuan dan wawasan lingkungan
  • Pengembangan keterampilan masyarakat
  • Pengembangan kapasitas masyarakat
  • Pengembangan kualitas diri
  • Peningkatan motivasi masyarakat untuk berperan serta
  • Penggalian dan pengembangan nilai tradisional masyarakat.
Konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah fokus pada karakteristik wilayah dari pesisir itu sendiri, dimana inti dari konsep pengelolaan pengelolaan wilayah adalah kombinasi dari pembangunan adaptif, terintegrasi, lingkungan, ekonomi dan sistem sosial. Strategi dan kebijakan yang diambil didasarkan pada karakteristik pantai, sumberdaya, dan kebutuhan pemanfaatannya. Oleh karena itu dadalam proses perencanaan wilayah pesisir, dimungkinkan pengambilan keputusan diarahkan pada pemeliharan untuk generasi yang akan dating (pembangunan berkelanjutan). Idealnya, dalam sebuah proses pengelolaan kawasan pesisir yang meliputi perencanaan, implementasi dan evaluasi, harua melibatkan minimal tiga unsure yaitu ilmuawan, pemerintah, dan masyarakat. Proses alam lingkungan pesisir dan perubahan ekologi hanya dapat dipahami oleh ilmuan dan kemudian pemahaman tersebut menjadi basis pertimbangan bagi pemerintah untuk melaksanakan program pembangunan yang menempatkan masyarakat pesisir sebagai pelaku dan tujuan meningkatkan sosial ekonomi kawasan. .
Menurut Muttaqiena dkk, perencanaan pembangunan pesisir secara terpadu harus memperhatikan tiga prinsip pembnagunan berkelanjutan untuk pengelolaan wilayah pesisir yang dapat diuraikan sebagai berikut ;
  • Instrumen ekonomi lingkungan telah menjadi bagian dari pengambilan keputusan, yang memasukkan parameter lingkungan untuk melihat analisis biaya manafaat (cost benefit analysis). Misalnya pembangunan pabrik di wilayah pesisir harus memperhitungkan tingkat pencemarannya terhadap laut, perlunya pengelolaan limbah ikan di Tempat Pelelangan Ikan, dan lain-lain.
  • Isu lingkungan seperti konservasi keanekaragaman hayati menjadi perhatian utama dalam pengambilan keputusan.
  • Pembangunan berkelanjutan sangat memperhatikan kualitas hidup manusia pada saat sekarang dan masa yang akan dating, termasuk didalamnya adalah sarana pendidikan bagi masyarakat pesisir, penyediaan fasilitas kesehatan dan sanitasi yang memadai, dan mitigasi bencana.
Strategi pengelolaan tersebut merupakan upaya-upaya pemecahan masalah-masalah wilayah pesisir yang yang harus dipecahkan melalui program-program pembangunan. Lebih lanjut lagi dapat disimpulkan bahwa factor-faktor yang harus diperhatikan berkenaan dengan program-program pengelolaan sumberdaya pesisir yaitu;
  • Pemerintah harus memiliki inisiatif dalam menanggapi berbagai permasalahan degradasi sumberdaya yang terjadi dan konflik yang melibatkan banyak kepentingan.
  • Batas wilayah hukum secara geografis harus ditetapkan (meliputi wilayah perairan dan wilayah darat)
  • Dicirikan dengan integrasi dua atau lebih sektor, didasarkan pada pengakuan alam dan sistem pelayanan umum yang saling berhubungan dalam penggunaan pesisir dan lingkungan.


3.3   Strategi Konservasi Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan

            Untuk melaksanakan konservasi wilayah pesisir yang berkelanjutan, diajukan beberapa strategi sebagai berikut.

3.3.1        Strategi  pemanfaatan secara lestari  dengan cara:

(a)    Merumuskan kebijakan pemanfaatan wilayah pesisir yang berkelanjutan:
(1)   Membuat aturan atau ketentuan dalam pemanfaatan wilayah pesisir.
(2)   Menerapkan kearifan lokal masyarakat adat dalam pemanfaatannya.
(3)   Memberikan insentif dan disinsentif dalam pemanfaatan.
(b)   Membuat mekanisme kordinasi antara perencanaan dan pemanfaatan wilayah pesisir:
(1)   Membuat analisis situasi wilayah pesisir.
(2)   Membuat perencanaan program pemanfaatan   
(3)   Membuat rencana pemanfaatan wilayah pesisir.
(4)   Monitoring dan evaluasi kesesuaian antara perencanaan dan pemanfaatan.
(c)    Mengembangkan kemitraan dalam pemanfaatan pesisir:

3.3.2        Strategi perlindungan dengan cara

(a)    Menetapkan wilayah pesisir yang membutuhkan perlindungan mendesak (urgen):
(1)   Identifikasi tipologi wilayah pesisir yang telah mengalami kerusakan;
(2)   Merumuskan langkah-langkah berkelanjutan dalam melindungi wilayah pesisir.
(b)   Menetapkan zonasi perlindungan wilayah pesisir
(1)   Memetakan wilayah pesisir yang membutuhkan perlindungan;
(2)   Menetapkan  spesies tumbuhan dan hewan yang dilindungi

3.3.3        Strategi pelestarian yang diajukan

(a)    Menerapkan kebijakan insentif dan disinsentif dalam pelestarian.
(b)   Membangun sarana dan prasarana pelestarian in situ untuk melestarikan keanekaragan hayati wilayah pesisir.
(c)    Meningkatkan apresiasi dan kesadaran nilai dan kebermaknaan keanekaragaman hayati wilayah pesisir:
(1)   Membangun kesadaran masyarakat  tentang nilai keanekaragaman hayati dalam budaya kontemporer
(2)   Menggunakan sistem pendidikan formal di dalam kelas
(3)   Menggunakan kegiatan-kegiatan di luar sekolah
             Berdasarkan uraian di atas, konservasi wilayah pesisir yang berkelanjutan dapat dilaksanakan dengan menggunakan stategi yang tepat. Strategi pemanfaatan yang lestari antara lain merumuskan kebijakan konservasi wilayah pesisir yang berkelanjutan, membuat mekanisme kordinasi antara perencanaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan mengembangkan kemitraan dalam pemanfaatan pesisir; Strategi perlindungan, meliputi menetapkan wilayah pesisir yang membutuhkan perlindungan mendesak (urgen), dan menetapkan zonasi perlindungan; serta Strategi pelestarian antara lain  menerapkan kebijakan insentif dan disinsentif dalam pelestarian, membangun sarana dan prasarana pelestarian in situ untuk melestarikan keanekaragaman hayati wilayah pesisir dan meningkatkan apresiasi dan kesadaran nilai dan kebermaknaan keanekaragaman hayati wilayah pesisir.
            Untuk melaksanakan strategi konservasi wilayah pesisir yang berkelanjutan, harus didukung komitmen dari stakeholder (pihak-pihak yang terkait) wilayah pesisir diiringi dengan penerapan etika lingkungan berdasarkan prinsip ekosentrisme. Sebagaimana yang diungkapkan Keraf (2010: 93) bahwa prinsip ekosentrisme lebih memfokuskan kepada komunitas ekologis secara holistik. Termasuk didalamnya pengembangan prinsip moral untuk kepentingan seluruh komunitas ekologis.    Oleh karena itu, keberhasilan dalam menerapkan strategi konservasi wilayah pesisir perlu didukung  penerapan cara pandang, nilai dan perilaku hidup berdasarkan prinsip ekosentrisme. Dengan demikian, gaya hidup yang kita lakukan semestinya selaras, serasi dengan alam, sehingga kesadaran pentingnya ramah lingkungan harus terus dikumandangkan diberbagai kesempatan, kegiatan dan secara merata di berbagai pelosok wilayah.



BAB IV

PENUTUP

4.1  Kesimpulan

Konservasi wilayah pesisir mencakup pemanfaatan, perlindungan, pelestarian, serta terjaminnya ekosistem yang berkesinambungan.  Konservasi wilayah pesisir di sini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini dan kebutuhan generasi mendatang.
Untuk melaksanakan strategi konservasi wilayah pesisir yang berkelanjutan, harus didukung komitmen dari stakeholder (pihak-pihak yang terkait) wilayah pesisir diiringi dengan penerapan etika lingkungan berdasarkan prinsip ekosentrisme.

4.2   Saran

Sebaiknya pemerintah membantu dalam konservasi pengembalian wilayah pesisir pantai sehingga banyak manfaat yang bisa kita dapatkan ketika kita membantu menyukseskan konservasi wilayah pesisir pantai ujung blang lhoksemawe ini









DAFTAR PUSTAKA

 

Cincin-Sain B., and Robert W.B. 1998. Integrated Coastal and Ocean  Management. Concepts and Practices.  Island Press Washington, DC. Covello,California
Dahuri, R., 2000.  Analisis Kebijakan dan Program Penglolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.  Makalah disampaikan pada Pelatihan Menajemen Wilayah Pesisir.  Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB.  Bogor.
Dahuri, H.R., J. Rais, S.P. Ginting dan H.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Prandya Paramita, Jakarta.
Dahuri, (2003 : 26-143)
Departemen Kelautan dan Perikanan, 2007. Program pengembangan Wilayah Pesisir di Indonesia, 2007. Jakarta.
Dinas Kelautan dan Perikanan, 2012. Statistik Perikanan Tangkap, 2012. Bengkulu.
Hermawan, M.2006.Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil (Kasus Perikanan Pantai di Serang dan Tegal. Disertai S3 Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Fauzi,A. Dan S. Anna.2002.Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan : Aplikasi Pendekatan Rapfish (Studi Kasus Perairan DKI Jakarta). Jurnal Pesisir dan Lautan Vol.4 (3).pp: 43-55.
Fauzi dan Anna, 2005.
Hartrisari, H.H. 2002. Panduan Lokakarya Analisis Prospektif. Fakultas Teknologi Pertanian. Jurusan Teknik dan Teknologi Industri. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Munasinghe, M. 1993.  Environmental Economic and Sustainable Development.  The International Bank for Reconstruction and Development/THE WORD BANK. Washintong D.C. 20433. U.S.A.
Purba ed, 2002 : 18-20)
Rangkuti, F.1999. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta.
Supriharyono. 2000.  Pelestarian Dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis.
Wiratno et al, 2004 :144