jurnal Geografi linkungan dan sumber daya Alam
Konservasi Wilayah Pesisir Pantai Ujung Blang diLhoksemawe
Disusun Oleh:
Usup
Setiawan
1206101040018
Dosen Pembimbing:
Daska Aziz S.pd , MA
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS KEGURUAN DAN
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM, BANDA ACEH
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan Penelitian “Geografi Lingkungan dan Sumber Daya Alam”
ini tepat pada waktunya dan dengan baik. Selawat beserta salam penulis
hadiahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari alam
keabodohan menuju alam yang penuh dngan ilmu pengetahuan seperti yang kita
rasakan saat ini.
Penulis juga menyadari bahwa terselesaikan laporan penelitian
ini tidak terlepas dari bimbingan, petunjuk, nasehat,serta bantuan dari
berbagai pihak yang penulis terima selama penulisan laporan jurnal ini.
Dalam menyusun laporan penelitian ini tidak lepas dari adanya
kekurangan karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki. Oleh karena itu, penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat
membangun demi tercapainya kesempurnaan dari penyusunan laporan penelitian ini. Akhirnya, dengan segala kerendahan hati
yang tulus, penulis berharap dapat memberikan manfaat bagi mahasiswa geografi
pada khususnya serta para pembaca pada umumnya. Terima kasih.
Darussalam, 02 Januari 2014
Penulis
Usup Setiawan
ABSTRAK
Kota Lhokseumawe di sebelah barat, timur dan selatannya
dibatasi oleh Kecamatan Dewantara, Kecamatan Syamtalira Bayu dan Kecamatan Kuta
Makmur Kabupaten Aceh Utara dan sebelah utara oleh Selat Melaka.
Letak geografi kota Lhokseumawe berada pada posisi 4º 54' –
5º 18' Lintang Utara (LU) dan 96º 20' – 97 º 21' Bujur Timur (BT).
Luas wilayah Kota Lhokseumawe adalah km² dengan jumlah
penduduk 188,974 orang. Ia terbahagi kepada 101 desa dan 6 kelurahan yang tersebar di empat kecamatan:
Banda Sakti, Muara Dua, Muara Batu dan Blang Mangat. Lapangan Terbang Malikus Saleh berada di wilayah kota ini.
Pantai Ujong Blang adalah salah satu
dari beberapa pantai yang berada di Kota Lhokseumawe, Aceh Utara yang cukup
terkenal. Pantai Ujong Blang terhampar dari muara sungai Cunda (kuala cangkoi)
yang meliputi empat wilayah desa yaitu Desa Ujong Blang, Ulee Jalan, Hagu Barat
Laut, dan Desa Hagu Tengah.
Objek wisata Pantai Ujong blang
dinamakan berdasarkan desa di mana pantai ini berada. Arti “Ujong Blang”
sendiri dalam bahasa aceh adalah “ujong” berarti ujung dan “blang” berarti
sawah atau hamparan kebun. Karena pada awalnya, wilayah Lhokseumawe terdiri
dari areal sawah, rawa, dan tanah kosong.
Kata
kunci dari konservasi wilayah pesisir mencakup pemanfaatan, perlindungan,
pelestarian, serta terjaminnya ekosistem yang berkesinambungan. Hal tersebut
dilakukan karena sumberdaya pesisir baik flora, fauna, dan ekosistem memiliki
kegunaan dan nilai ekologis, ekonomis dan sosial yang penting.
Pada
saat ini program/strategi konservasi wilayah pesisir menjadi agenda penting
mengingat kerusakan sumberdaya pesisir akibat pencemaran yang berasal dari
wilayah pesisir dan sekitarnya. Dampak pencemaran dan kerusakan lingkungan di
wilayah pesisir dapat membahayakan kelestarian ekosistem pesisir. Ekosistem
pesisir yang rusak dapat mengganggu kehidupan dan penghidupan manusia, spesies
lain dan lingkungannya. Fenomena kerusakan wilayah pesisir dapat dipantau baik
melalui media cetak dan elektronik maupun dapat dilihat secara langsung di
lapangan. Kerusakan wilayah pesisir bukan hanya oleh penduduk wilayah pesisir
saja, tetapi juga oleh penduduk sekitarnya.
Ancaman
utama pada keanekaragaman hayati di wilayah pesisir adalah terjadinya kerusakan
lingkungan dan kepunahan habitat. Oleh karena itu, cara yang paling baik untuk
melindungi keanekaragaman hayati yaitu dengan cara melakukan konservasi.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konservasi wilayah pesisir yang dimaksud adalah upaya perlindungan, pelestarian
dan pemanfaatan serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan dan kesinambungan
sumberdaya pesisir dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragaman hayati (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2007: 3).
Kata kunci dari konservasi wilayah pesisir mencakup pemanfaatan, perlindungan,
pelestarian, serta terjaminnya ekosistem yang berkesinambungan. Hal tersebut
dilakukan karena sumberdaya pesisir baik flora, fauna, dan ekosistem memiliki
kegunaan dan nilai ekologis, ekonomis dan sosial yang penting.
Kualitas dan keanekaragaman hayati wilayah pesisir harus terus dikonservasi
sehingga keanekaragaman hayatinya terus meningkat dan kondisi ekosistem dalam
keadaan homeostatis. Sebaliknya, jika suatu ekosistem pesisir menunjukkan
keanekaan hayatinya mengalami penurunan harus diwaspadai sebagai tanda
perlunya upaya untuk pemulihan kembali. Sebab jika tidak dilakukan konservasi
bukan saja ekosistem pesisir yang rusak, tetapi juga nasib manusia
(masyarakat pesisir) yang terancam.
Pada saat ini program/strategi konservasi wilayah pesisir menjadi agenda
penting mengingat kerusakan sumberdaya pesisir akibat pencemaran yang berasal
dari wilayah pesisir dan sekitarnya. Dari daerah sekitarnya berupa pencemaran
limbah domestik, limbah industri, bahkan adanya erosi dari lahan pertanian yang
topografinya curam. Sedangkan dari wilayah pesisir berupa pencemaran yang
berasal dari pertanian, perikanan, serta kegiatan lainnya.
Dampak pencemaran dan kerusakan lingkungan di wilayah pesisir dapat
membahayakan kelestarian ekosistem pesisir. Ekosistem pesisir yang rusak dapat
mengganggu kehidupan dan penghidupan manusia, spesies lain dan lingkungannya.
Seperti dengan keanekaragaman hayati menurun menunjukkan terjadinya kepunahan
spesies tertentu. Kepunahan spesies tertentu dapat mengganggu keseimbangan ekosistem
pesisir, karena akan menyebabkan spesies lain akan melimpah sehingga rantai
makanan terganggu. Padahal dalam sistem rantai makanan sebelumnya sudah
demikian teratur.
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:
- Tujuan Umum
Memperoleh
gambaran pelaksanaan konservasi wilayah pesisir sesuai dengan tujuan
kelestarian ekosistem wilayah pesisir
- Tujuan Khusus
Agar
masyarakat lebih memahami dan mengetahui seberapa penting kelestarian
lingkungan di wilayah pesisir bagi kehidupan ekosistem pantai, laut dan
masyarakat pesisir.
1.3 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan karya tulis ilmiah
ini adalah sebagai berikut:
- Sebagai bahan pemikiran pada masyarakat dalam upaya meningkatan kelestarian wilayah pesisir
- Untuk mengetahui apakah dengan konservasi dapat meningkatkan keanekaragaman hayati dan kondisi ekosistem dalam keadaan baik atau sebaliknya
1.4
Metode penulisan
Dalam
penulisan karya tulis ini untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan penulis
menggunakan metode penulisan sebagai berikut. Studi Kepustakaanyaitu penulis
membaca buku-buku, literatur, internet, dan sumber-sumber yang dapat
dipercaya berkaitan dengan penelitian ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Saat
ini degradasi lingkungan wilayah pesisir sudah mengancam kehidupan dan
penghidupan manusia serta ekosistemnya. Rusaknya ekosistem pesisir
mengakibatkan nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung, nilai guna
pilihan, serta nilai guna konsumtif tidak berfungsi lagi. Otomatis fungsi
lingkungan hidup dari wilayah pesisir pun terganggu. Oleh karena itu, untuk
menjawab tantangan tersebut maka jawabanya adalah konservasi, karena konservasi
dapat melindungi, melestarikan dan memanfaatkan ekosistem wilayah pesisir
secara berkelanjutan.
Pengembangan
ekonomi masyarakat pesisir berbasis potensi dan kondisi sosial budaya setempat
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan sumber daya
laut dan pesisir secara optimal dan berkelanjutan. Peningkatan tingkat
kesejahteraan masyarakat pesisir merupakan salah satu kunci dalam mengurangi
tekanan terhadap ekosistem laut dan pesisir dari pemanfaatan sumber daya yang
tidak terkendali.
2.1 Ancaman Kerusakan Wilayah Pesisir
Fenomena
kerusakan wilayah pesisir dapat dipantau baik melalui media cetak dan
elektronik maupun dapat dilihat secara langsung di lapangan. Kerusakan wilayah
pesisir bukan hanya oleh penduduk wilayah pesisir saja, tetapi juga oleh
penduduk sekitarnya. Penduduk pesisir biasanya membuang limbah domestik
(sampah, hasil pengolahan ikan, dan kegiatan lainnya). Sedangkan penduduk
sekitarnya tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi, termasuk dalam
kegiatan pertanian sehingga menimbulkan erosi. Erosi dan limbah dari daerah
sekitarnya akan masuk ke sungai dan mengalir ke wilayah pesisir. Oleh karena
itu, wilayah pesisir sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan.
Wilayah pesisir tergolong
sumberdaya milik bersama, harus tetap lestari dan berkelanjutan. Dengan telah
terjadinya perubahan kondisi lingkungan berupa erosi dan pencemaran akan dapat
mengancam keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam. Menurut Hardin (1968:
162) bahwa pemanfaatan sumberdaya milik bersama harus mempertimbangkan
faktor internalitas lingkungan dan faktor ekstenalitas lingkungan. Yang
dimaksud dengan internalitas lingkungan adalah mengambil peran
(bertanggungjawab) untuk mengelola dampak lingkungan yang dapat merugikan
keselamatan manusia dan lingkungan sekitarnya. Sedangkan eksternalitas
lingkungan adalah perilaku yang tidak bertanggungjawab atas kegiatan yang
dilakukannya sehingga dapat merugikan manusia dan lingkungan sekitarnya.
Sumberdaya
yang ada di wilayah pesisir sebagai sumberdaya milik bersama memiliki
manfaat ekologis yakni (1) nilai guna langsung; (2) nilai guna tidak
langsung; (3) nilai guna pilihan; dan (4) nilai guna nonkonsumtif
(Wiratno et. al, 2004:144). Nilai guna langsung, meliputi komoditas pangan yang
dihasilkan kawasan, produk-produk hutan atau laut dan manfaat rekreasi. Nilai
guna tidak langsung, meliputi manfaat-manfaat fungsional dari proses ekologis yang
secara terus menerus memberikan perannya kepada masyarakat maupun ekosistem.
Nilai guna pilihan, meliputi manfaat sumberdaya alam yang tersimpan atau
dipertahankan bagi kepentingan masa depan, misalnya sumber daya hutan yang
menyimpan plasma nutfah atau sumber genetik. Nilai guna nonkonsumtif, meliputi
nilai keberadaan, yaitu nilai yang diberikan masyarakat kepada kawasan
konservasi atas manfaat spiritual, estetika dan kultural; serta nilai warisan,
yaitu nilai yang diberikan masyarakat yang hidup saat ini terhadap suatu sumber
daya tertentu agar tetap utuh dan bisa dimanfaatkan oleh generasi mendatang.
Oleh karena itu, apabila terjadi kerusakan lingkungan yang parah, diduga
sumberdaya milik bersama ini akan kehilangan nilai guna langsung, nilai guna
tidak langsung, nilai guna pilihan dan nilai guna nonkonsumtif seperti yang
diuraikan sebelumnya. Terjadinya kerusakan lingkungan mengakibatkan habitat
alami rusak.
Menurut Primack (1998: 59)
bahwa di banyak wilayah kepulauan atau tempat-tempat yang banyak penduduknya,
hampir semua habitat alami telah rusak, 47 negara dari 57 negara tropik di
Afrika dan Asia telah kehilangan 50% atau lebih habitat hutan tropiknya. Bahkan
di Asia, 65% habitat hutan tropiknya telah musnah.
Berdasarkan uraian di atas, ancaman utama pada keanekaragaman hayati di wilayah
pesisir adalah terjadinya kerusakan lingkungan dan kepunahan habitat. Oleh
karena itu, cara yang paling baik untuk melindungi keanekaragaman hayati yaitu
dengan cara melakukan konservasi.
2.2 Tipologi Wilayah Pesisir
Kondisi fisik habitat wilayah pesisir banyak dipengaruhi oleh perubahan yang
ada di daratan maupun lautan. Wilayah pesisir dalam Undang-undang No. 27 Tahun
2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil adalah daerah
peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di
darat dan laut.
Dahuri (2003: 26- 143) membagi wilayah pesisir secara garis besar ke dalam dua
kelompok ekosistem, yakni ekosistem yang tidak tergenang air dan ekosistem yang
tergenang air. Ekosistem yang tidak tergenang air mencakup (1) formasi
pescaprae dan (2) formasi barringtonia.
1. Ekosistem yang
tidak tergenang air
- Formasi Pescaprae dikenal dengan sebutan gosong pantai berpasir. Formasi ini didominasi tumbuhan pionir, terutama kangkung laut (Ipomoea pescaprae). Orang kebanyakan melihat tumbuhan ini terkadang dianggap mengganggu pemandangan di pantai, padahal tumbuhan ini berfungsi sebagai pelindung pantai. yang dapat menahan ombak.
- Formasi barringtonia ditandai dengan komunitas rerumputan dan belukar yang ada di pantai berbatu tanpa pasir (gravvel). Formasi ini ditumbuhi cemara laut (Casuarina equisitifol) dan Callophyllum innophyllum.
2. Ekosistem
yang tergenang air
Ekosistem
yang tergenang air meliputi (1) terumbu karang (2) padang lamun (3) hutan
mangrove (4) estuaria dan (5) rumput laut. Berikut ini diuraikan sepintas
tentang ekosistem pesisir yang tergenang air.
- Terumbu karang
Terumbu
karang berkembang baik hanya di daerah tropik. Terumbu karang terbentuk
dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat yang dihasilkan oleh hewan
karang (filum Scnedaria, kelas Anthozoa, ordo Madreporaria
Scleractinia), alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan
kalsium karbonat (Nybakken, 1986: 25). Hewan karang termasuk kelas Anthozoa
berarti hewan berbentuk bunga (Antho artinya bunga; zoa artinya hewan).
Ekosistem
terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini disebabkan
oleh kemampuan terumbu karang untuk menahan nutrien dalam sistem dan berperan
sebagai kolam untuk menampung segala masukan dari luar. Nilai produksi bersih
terumbu karang berkisar 300-5000 g C (Carbon) m2 per tahun, lebih
tinggi dari ekosistem sekitarnya (Nybakken, 1986: 27)
Secara
ekologis, terumbu karang dapat berfungsi melindungi komponen ekosistem pesisir
lainnya dari gempuran gelombang dan badai. Terumbu karang termasuk ekosistem
yang sangat rentan terhadap gangguan akibat kegiatan manusia. Apabila rusak,
terumbu karang memerlukan pemulihan dengan kurun waktu yang cukup lama.
Adapun yang menjadi parameter
ekosistem terumbu karang yaitu tingkat kejernihan air laut, temperatur,
salinitas, sirkulasi arus dan sedimentasi. Faktor sedimentasi dapat menutupi
permukaan terumbu karang, sehingga berdampak negatif terhadap hewan karang dan
biota yang berasosiasi dengan habitatnya.
- Padang lamun
Padang
lamun. Tumbuhan lamun (seagrasses) termasuk tumbuhan berbunga (Angiospemae)
yang telah sepenuhnya beradaptasi hidup terbenam di dalam laut. Tumbuhan ini
mempunyai sifat yang memungkinkan hidup yakni karena (1) mampu hidup pada media
air asin; (2) mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam; (3)mempunyai
sistem perakaran jangkar yang berkembang baik; (4) mampu melaksanakan
penyerbukan dan daur generatif dalam keadaan terbenam. Tanaman lamun memiliki
bunga dan buah yang kemudian berkembang menjadi benih.
Lamun
tumbuh subur terutama di daerah terbuka pasang surut dan perairan pantai yang
dasarnya berupa lumpur, pasir, kerikil, patahan karang mati dengan kedalaman
sampai empat meter. Padang lamun dapat berbentuk vegetasi tunggal, tersusun
atas satu jenis lamun yang tumbuh membentuk padang lebat, sedangkan
vegetasi campuran terdiri dari dua sampai 12 jenis lamun yang tumbuh
bersama-sama pada satu substrat. Spesies lamun yang tumbuh dengan vegetasi
tunggal adalah Thalassia henprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis,
Halodule uninervis, Cynmodocea serrulata, dan Thalassodendrom ciliatum.
Pada substrat berlumpur di daerah mangrove ke arah laut, sering dijumpai padang
lamun dari spesies tunggal yang berasosiasi tinggi (Dahuri, 2003: 39). Adapun
yang menjadi parameter pertumbuhan ekosistem lamun mencakup tingkat kejernihan
air laut, temperatur, salinitas, substrat dan kecepatan arus perairan.
- Hutan mangrove
Hutan
mangrove ada yang menyebut sebagai hutan pasang surut, hutan payau atau hutan
bakau. Bakau sebenarnya menunjukkan kepada salah satu jenis tumbuhan yang
menyusun hutan mangrove yaitu jenis Rhizophora spp. Pemberian istilah
hutan bakau dinilai kurang tepat, namun sebutan yang tepat adalah hutan
mangrove.
Hutan
mangrove termasuk hutan tropika dan subtropika yang tumbuh di sepanjang pantai
atau muara sungai serta dipengaruhi pasang surut air laut. Mangrove banyak
tumbuh pada wilayah pesisir yang dapat menahan ombak serta berada pada
daerah yang landai. Pertumbuhan yang optimal dari mangrove spesies Rhyzophora
spp terutama pada wilayah pesisir yang memiliki sungai besar dan delta yang
aliran airnya banyak mengandung lumpur.
Pertumbuhan
mangrove mengikuti pola zonasi. Pola zonasi berkaitan erat dengan faktor
lingkungan seperti kondisi tanah (lumpur, pasir, gambut), keterbukaan terhadap
hempasan gelombang, salinitas serta pengaruh pasang surut. Pembentukan zonasi
dimulai dari arah laut menuju daratan, yang terdiri dari zona Avicennia dan
Sonneratia yang berada paling depan serta berhadapan dengan laut. Zona
dibelakangnya berturut-turut Rhizhopora, Bruguiera, dan Ceriops
(Dahuri, 2003: 60).
Adapun
yang menjadi parameter lingkungan utama dalam menentukan pertumbuhan mangrove
antara lain suplai air tawar dan salinitas, pasokan nutrien, dan stabilitas
substrat. Berdasarkan parameter tersebut, menunjukkan bahwa adanya sungai yang
bermuara ke laut yang membawa air tawar yang diikuti dengan sejumlah nutrien
merupakan faktor kunci pertumbuhan mangrove.
Ekosistem
hutan mangrove secara ekologis memiliki fungsi sebagai tempat mencari makan,
memijah, memelihara berbagai macam biota perairan (ikan, udang, dan
kerang-kerangan). Hutan mangrove merupakan habitat berbagai jenis satwa, baik
sebagai habitat pokok maupun habitat sementara, penghasil sejumlah detritus,
dan perangkap sedimen. Dari segi ekonomi, vegetasi ini dapat dimanfaatkan
sebagai sumber penghasil kayu bangunan, bahan baku kertas, kayu bakar, arang,
alat tangkap ikan dan sumber bahan lain, seperti tannin dan pewarna
(Mukkhtasor, 2007: 36).
Hasil
penelitian MacFarlane et. al. (2003: 139-151) menunjukkan bahwa akar
mangrove spesies Avicennia marina atau sebutan masyarakat adalah api-api
digunakan sebagai indikator biologis lingkungan yang tercemar logam berat
terutama tembaga (Cu), timbal (Pb), dan seng (Zn) melalui monitoring secara
berkala. Hal ini menunjukkan spesies Avicennia marina memiliki toleransi
yang besar serta mengakumulasi berbagai jenis logam. Sementara spesies mangrove
jenis lainnya kurang toleran terhadap logam berat.
Apabila
suatu daerah pesisir yang tercemar logam berat, seperti yang diuraikan di atas
maka hanya mangrove spesies Avicennia marina saja yang dapat bertahan.
Artinya spesies mangrove lainnya tidak dapat bertahan karena tidak mampu
beradaptasi dengan perubahan lingkungan.
- Estuaria
Estuaria
adalah wilayah sungai yang ada di bagian hilir dan bermuara ke laut,
sehingga memungkinkan terjadinya pencampuran antara air tawar dan air laut.
Estuaria didominasi oleh substrat lumpur yang berasal dari endapan yang dibawa
oleh air tawar sehingga bersatu dengan air laut. Partikel yang mengendap
kebanyakan bersifat organik, substrat dasar estuaria kaya akan bahan organik.
Bahan organik tersebut sebagai cadangan makanan utama, bagi pertumbuhan
mangrove dan organisme lainnya. Komponen fauna estuaria dihuni oleh biota air
laut dan air tawar. Komponen fauna estuaria didominasi hewan stenohaline
dan hewan eurihaline. Hewan stenohaline adalah hewan yang
terbatas kemampuannya dalam mentolerir perubahan salinitas sampai 30 permil.
Sedangkan hewan eurihaline adalah hewan khas laut yang mampu mentolerir
penurunan salinitas hingga di bawah 30 permil.
Parameter
lingkungan utama ekosistem estuaria antara lain sirkulasi air, partikel tersuspensi
dan kandungan polutan. Dengan demikian ekosistem estuaria ini sangat sensitif
terhadap perubahan sirkulasi air, tersuspensinya partikel dan polutan.
- Rumput laut
Rumput
laut (seaweed) dapat hidup pada perairan yang cukup cahaya. Nutrien yang
diperlukan oleh rumput laut diperoleh langsung dari air laut. Nutrien tersebut
dihantarkan melalui upwelling, turbulensi dan masukan dari daratan.
Rumput
laut memiliki produktivitas yang cukup besar, dan hewan pemangsa langsung
rumput laut relatif sedikit. Diperkirakan produksi bersih rumput laut yang
memasuki jaring makanan melalui pemangsaan hanya 10 %, sisanya 90 % masuk
melalui rantai bentuk detritus atau bahan organik terlarut (Nybakken, 1986:
61).
Berdasarkan
uraian di atas tentang ekosistem pesisir yang tidak tergenang air dan yang
tidak tergenang air menunjukkan bahwa ekosistem tersebut memiliki nilai yang
sangat penting bagi manusia dan lingkungannya. Terpeliharanya ekosistem pesisir
dapat memberikan manfaat bukan hanya untuk saat ini saja, tetapi untuk masa
yang akan datang. Ekosistem pesisir memiliki potensi yang sangat besar untuk
dikembangkan terutama dalam bidang jasa-jasa lingkungan. Jasa-jasa lingkungan
tersebut anatar lain kegiatan parisiwata, pendidikan dan penelitian wilayah
pesisir.
BAB III
ISI
3.1 Konservasi Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan
Konservasi wilayah pesisir di sini mengacu pada konsep pembangunan
berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat
memenuhi kebutuhan generasi saat ini dan kebutuhan generasi mendatang.
Pembangunan yang berkelanjutan dilaksanakan tanpa mengurangi fungsi lingkungan
hidup. Lingkup pembangunan berkelanjutan meliputi aspek lingkungan, ekonomi,
dan sosial yang diterapkan secara seimbang serasi selaras dengan alam. Hal ini
sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 32 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup pasal 1 ayat 3, bahwa pembangunan berkelanjutan adalah upaya
sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial dan ekonomi.
Purba ed. (2002: 18-20) mengemukakan lima prinsip utama pembangunan
berkelanjutan yakni dengan menggunakan prinsip (1) keadilan antar generasi; (2)
keadilan dalam satu generasi; (3) pencegahan dini; (4) perlindungan
keanekaragaman hayati; dan (5) internalisasi biaya lingkungan dan mekanisme
insentif.
Kelima prinsip di atas, mengandung arti bahwa pembangunan harus memberikan
jaminan supaya serasi, selaras dan seimbang dengan daya dukung lingkungan. Oleh
karena itu, daya dukung lingkungan yang ada di wilayah pesisir seharusnya tetap
terpelihara dan terjaga baik sehingga dapat dimanfaatkan secara terprogram
secara lestari bagi kesejahteraan generasi mendatang.
Kerusakan
lingkungan telah terjadi di wilayah pesisir yang diakibatkan oleh perilaku
manusia di wilayah pesisir dan di daerah sekitarnya. Kerusakan lingkungan
tersebut dapat mengancam fungsi lingkungan hidup wilayah pesisir. Fungsi
lingkungan hidup akan mengancam kelestarian tipologi ekosistem pesisir, yang
meliputi ekosistem yang tidak tergenang air dan ekosistem yang tergenang
air. Konservasi wilayah pesisir sebagaimana telah diuraikan sebelumnya
adalah upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan serta ekosistemnya
untuk menjamin keberadaan dan kesinambungan sumberdaya pesisir dengan tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman hayati
(Departemen Kelautan dan Perikanan, 2007: 3).
Dalam
konservasi ada aspek yang tidak boleh diabaikan yaitu kondisi lingkungan,
ekonomi, dan sosial. Lingkungan yang dimaksud mencakup tumbuhan dan hewan harus
sesuai dengan habitatnya sehingga dapat tumbuh optimal. Ekonomi yang dimaksud
bahwa untuk melakukan konservasi membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Konservasi harus memperhitungkan faktor biaya penanaman, biaya perawatan, dan
biaya pengamanan. Faktor sosial yang dimaksud adalah bahwa dalam konservasi
selayaknya melibatkan masyarakat. Karena dengan melibatkan masyarakat, tumbuhan
dipelihara, dijaga dan dirawat sesuai dengan kearifan budayanya.
Manfaat
konservasi wilayah pesisir yaitu manfaat biogeografi, keaneka-ragaman hayati,
perlindungan terhadap spesies endemik dan spesies langka, perlindungan terhadap
spesies yang rentan dalam masa pertumbuhan, pengurangan mortalitas,
perlindungan pemijahan, manfaat penelitian, ekoturism, dan peningkatan
produktivitas perairan (Fauzi dan Anna (2005: 73). Manfaat konservasi tersebut,
mencakup manfaat langsung maupun tidak langsung. Manfaat konservasi wilayah
pesisir tidak hanya bersifat terukur (tangible), tetapi ada juga yang
tidak terukur (intangible). Manfaat yang terukur mencakup manfaat
kegunaan baik untuk dikonsumsi maupun tidak. Sedangkan manfaat tidak terukur
lebih tertuju pada manfaat pemeliharaan ekosistem dalam jangka panjang.
Kegiatan pemanfaatan, perlindungan dan pelestarian di wilayah pesisir,
selayaknya dengan menggunakan pendekatan secara bottom up. Pendekatan
ini, sudah mengakomodir kebutuhan masyarakat yang ada di lapangan. Dengan kata
lain pendekatan ini sudah sesuai dengan program yang sudah disusun komunitas
(masyarakat pesisir).
3.2 Kebijakan, Strategi Dan Perencanan Pengelolaan Wilayah Pesisir
Menteri
Kimpraswil dalam Seminar Umum Dies Natalis ITS ke-34 menyatakan beberapa
kebijakan nasional yang terkait dengan pengelolaan wilayah laut dan pesisir
adalah sebagai berikut :
- Revitalisasi kawasan berfunsi lindung, mencakup kawasan-kawasan lindung yang terdapat di wilayah darat dan wilayah laut/pesisir, daalm rangka menjaga kualitas lingkungan hidup sekaligus mengamankan kawasan pesisir dari ancaman bencana alam. Salah satu factor penyebab berbagai permasalahan di wilayah laut dan pesisir adalah hilangnya fungsi lindung kawasan-kawasan yang seharusnya ditetapkan sebagai kawasan lindung, termasuk kawasan lindung di wilayah daratan yang mengakibatkan pendangkalan perairan pesisir, kerusakan padang lamun, dan kerusakan terumbu karang (coral bleaching).
- Pengembangan ekonomi masyarakat pesisir berbasis potensi dan kondisi sosial budaya setempat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir secara optimal dan berkelanjutan. Peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir merupakan salah satu kunci dalam mengurangi tekanan terhadap ekosistem laut dan pesisir dari pemanfaatan sumber daya yang tidak terkendali.
- Peningkatan pelayanan jaingan prasarana wilayah untuk menunjang pengembangan ekonomi di wilayah laut dan pesisir. Ketersediaan jaringan prasrana wilayah yang memadai akan menunjang pemanfaatan sumber daya kelautan dan pesisir secara optimal serta menunjang fungsi pesisir sebagai simpul koleksi-distribusi produk kegiatan ekonomi masyarakat.
Menurut
Nurmalasari, strategi pengembangan masyarakat pesisir dapat dilakukan melalui
dua pendekatan yaitu, yang bersifat struktural dan non structural. Pendekatan
structural dalah pendekatan makro yang menekankan pada penataan sisitem dan
struktur sosial politik. Pendekatan ini mengutamakan peranan instansi yang
berwenang atau organisasi yang dibentuk untuk pengelolaan pesisir laut. Dalam
hal ini peranan masyarakat sangat penting tetapi akan kurang kuat karena aspek
struktural biasanya lebih efektif bila dilakukan oleh pihak-pihak yang
mempunyai kewenangan, paling tidak pada tahap awal. Dilain pihak pendekatan non
struktural adalah pendekatan yang subyektif. Pendekatan ini mengutamakan pemberdayaan
masyarakat secara mental dalam rangka meningkatkan kemampuan anggota masyarakat
untuk ikut serta dalam pengelolaan dan persoalan pesisir laut. Kedua pendekatan
tersebut harus saling melengkapi dan dilaksanakan secara integratif.
Sasaran
utama pendekatan structural adalah tertatanya struktur dan sistem hubungan
antara semua komponen dan system kehidupan, baik di wilayah pesisir dan laut
maupun komponen pendukung yang terkait, termasuk komponen sosial, ekonomi dan
fisik. Dengan penataan aspek structural, diharapkan masyarakat mendapatkan
kesempatan lebih luas untuk memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Selain itu penataan struktur dan sisitem hubungan sosial dan ekonomi tersebut
diharapkan dapat menciptakan peluang bagi masyarakat untuk ikut serta
melindungi sumber daya alam dari ancaman yang dating baik dari dalam maupun
dari luar. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi bahkan menghilangkan
masalah-masalah sosial dan ekonomi yang utama yang selama ini secara
terus-menerus menempatkan masyarakat (lokal) pada posisi yang sulit.
Pendekatan
subyektif atau non-struktural adalah pendekatan yang menempatkan manusia
sebagai subyek yang mempunyai keleluasaan untuk berinisiatif dan berbuat
menurut kehendaknya. Pendekatan tersebut berasumsi bahwa masyarakat lokal
dengan pengetahuan, keterampilan dan kesadarannya dapat meningkatkan peranannya
dalam perlindungan sumber daya alam sekitarnya. Karena itu, salah satu upaya
untuk meningkatkan peran masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan
wilayah pesisir dan laut adalah dengan meningkatkan pengetahuan, keterampilan
dan kesadaran masyarakat untuk ebrbuat sesuatu demi melindungi sumber daya
alam. Pengetahuan dan keterampilan tersebut tidak harus berkaitan langsung
dengan upaya-upaya penanggulangan maslah kerusakan sumber daya alam tetapi juga
hal-hal yang berkaitan dengan usaha ekonomi, terutama dalam rangka membekali
masyarakat dengan usaha ekonomi alternative sehingga tidak merusak lingkungan,
antara lain yaitu :
- Peningkatan pengetahuan dan wawasan lingkungan
- Pengembangan keterampilan masyarakat
- Pengembangan kapasitas masyarakat
- Pengembangan kualitas diri
- Peningkatan motivasi masyarakat untuk berperan serta
- Penggalian dan pengembangan nilai tradisional masyarakat.
Konsep
pengelolaan wilayah pesisir adalah fokus pada karakteristik wilayah dari
pesisir itu sendiri, dimana inti dari konsep pengelolaan pengelolaan wilayah
adalah kombinasi dari pembangunan adaptif, terintegrasi, lingkungan, ekonomi
dan sistem sosial. Strategi dan kebijakan yang diambil didasarkan pada
karakteristik pantai, sumberdaya, dan kebutuhan pemanfaatannya. Oleh karena itu
dadalam proses perencanaan wilayah pesisir, dimungkinkan pengambilan keputusan
diarahkan pada pemeliharan untuk generasi yang akan dating (pembangunan berkelanjutan).
Idealnya, dalam sebuah proses pengelolaan kawasan pesisir yang meliputi
perencanaan, implementasi dan evaluasi, harua melibatkan minimal tiga unsure
yaitu ilmuawan, pemerintah, dan masyarakat. Proses alam lingkungan pesisir dan
perubahan ekologi hanya dapat dipahami oleh ilmuan dan kemudian pemahaman
tersebut menjadi basis pertimbangan bagi pemerintah untuk melaksanakan program
pembangunan yang menempatkan masyarakat pesisir sebagai pelaku dan tujuan
meningkatkan sosial ekonomi kawasan. .
Menurut
Muttaqiena dkk, perencanaan pembangunan pesisir secara terpadu harus
memperhatikan tiga prinsip pembnagunan berkelanjutan untuk pengelolaan wilayah
pesisir yang dapat diuraikan sebagai berikut ;
- Instrumen ekonomi lingkungan telah menjadi bagian dari pengambilan keputusan, yang memasukkan parameter lingkungan untuk melihat analisis biaya manafaat (cost benefit analysis). Misalnya pembangunan pabrik di wilayah pesisir harus memperhitungkan tingkat pencemarannya terhadap laut, perlunya pengelolaan limbah ikan di Tempat Pelelangan Ikan, dan lain-lain.
- Isu lingkungan seperti konservasi keanekaragaman hayati menjadi perhatian utama dalam pengambilan keputusan.
- Pembangunan berkelanjutan sangat memperhatikan kualitas hidup manusia pada saat sekarang dan masa yang akan dating, termasuk didalamnya adalah sarana pendidikan bagi masyarakat pesisir, penyediaan fasilitas kesehatan dan sanitasi yang memadai, dan mitigasi bencana.
Strategi pengelolaan tersebut
merupakan upaya-upaya pemecahan masalah-masalah wilayah pesisir yang yang harus
dipecahkan melalui program-program pembangunan. Lebih lanjut lagi dapat
disimpulkan bahwa factor-faktor yang harus diperhatikan berkenaan dengan
program-program pengelolaan sumberdaya pesisir yaitu;
- Pemerintah harus memiliki inisiatif dalam menanggapi berbagai permasalahan degradasi sumberdaya yang terjadi dan konflik yang melibatkan banyak kepentingan.
- Batas wilayah hukum secara geografis harus ditetapkan (meliputi wilayah perairan dan wilayah darat)
- Dicirikan dengan integrasi dua atau lebih sektor, didasarkan pada pengakuan alam dan sistem pelayanan umum yang saling berhubungan dalam penggunaan pesisir dan lingkungan.
3.3 Strategi Konservasi Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan
Untuk melaksanakan konservasi wilayah pesisir yang berkelanjutan, diajukan
beberapa strategi sebagai berikut.
3.3.1 Strategi pemanfaatan secara lestari dengan cara:
(a) Merumuskan kebijakan pemanfaatan
wilayah pesisir yang berkelanjutan:
(1) Membuat aturan atau ketentuan dalam
pemanfaatan wilayah pesisir.
(2) Menerapkan kearifan lokal masyarakat adat
dalam pemanfaatannya.
(3) Memberikan insentif dan disinsentif dalam
pemanfaatan.
(b) Membuat mekanisme kordinasi antara
perencanaan dan pemanfaatan wilayah pesisir:
(1) Membuat analisis situasi wilayah pesisir.
(2) Membuat perencanaan program
pemanfaatan
(3) Membuat rencana pemanfaatan wilayah pesisir.
(4) Monitoring dan evaluasi kesesuaian antara
perencanaan dan pemanfaatan.
(c) Mengembangkan kemitraan dalam
pemanfaatan pesisir:
3.3.2 Strategi perlindungan dengan cara
(a) Menetapkan wilayah pesisir yang
membutuhkan perlindungan mendesak (urgen):
(1) Identifikasi tipologi wilayah pesisir yang
telah mengalami kerusakan;
(2) Merumuskan langkah-langkah berkelanjutan
dalam melindungi wilayah pesisir.
(b) Menetapkan zonasi perlindungan wilayah
pesisir
(1) Memetakan wilayah pesisir yang membutuhkan
perlindungan;
(2) Menetapkan spesies tumbuhan dan hewan
yang dilindungi
3.3.3 Strategi pelestarian yang diajukan
(a) Menerapkan kebijakan insentif dan
disinsentif dalam pelestarian.
(b) Membangun sarana dan prasarana pelestarian
in situ untuk melestarikan keanekaragan hayati wilayah pesisir.
(c) Meningkatkan apresiasi dan kesadaran
nilai dan kebermaknaan keanekaragaman hayati wilayah pesisir:
(1) Membangun kesadaran masyarakat tentang
nilai keanekaragaman hayati dalam budaya kontemporer
(2) Menggunakan sistem pendidikan formal di
dalam kelas
(3) Menggunakan kegiatan-kegiatan di luar
sekolah
Berdasarkan uraian di atas, konservasi wilayah pesisir yang berkelanjutan dapat
dilaksanakan dengan menggunakan stategi yang tepat. Strategi pemanfaatan yang
lestari antara lain merumuskan kebijakan konservasi wilayah pesisir yang
berkelanjutan, membuat mekanisme kordinasi antara perencanaan dan pemanfaatan
wilayah pesisir dan mengembangkan kemitraan dalam pemanfaatan pesisir; Strategi
perlindungan, meliputi menetapkan wilayah pesisir yang membutuhkan perlindungan
mendesak (urgen), dan menetapkan zonasi perlindungan; serta Strategi pelestarian
antara lain menerapkan kebijakan insentif dan disinsentif dalam
pelestarian, membangun sarana dan prasarana pelestarian in situ untuk
melestarikan keanekaragaman hayati wilayah pesisir dan meningkatkan apresiasi
dan kesadaran nilai dan kebermaknaan keanekaragaman hayati wilayah pesisir.
Untuk melaksanakan strategi konservasi wilayah pesisir yang berkelanjutan,
harus didukung komitmen dari stakeholder (pihak-pihak yang terkait)
wilayah pesisir diiringi dengan penerapan etika lingkungan berdasarkan prinsip
ekosentrisme. Sebagaimana yang diungkapkan Keraf (2010: 93) bahwa prinsip
ekosentrisme lebih memfokuskan kepada komunitas ekologis secara holistik.
Termasuk didalamnya pengembangan prinsip moral untuk kepentingan seluruh
komunitas ekologis. Oleh karena itu, keberhasilan dalam
menerapkan strategi konservasi wilayah pesisir perlu didukung penerapan
cara pandang, nilai dan perilaku hidup berdasarkan prinsip ekosentrisme. Dengan
demikian, gaya hidup yang kita lakukan semestinya selaras, serasi dengan alam,
sehingga kesadaran pentingnya ramah lingkungan harus terus dikumandangkan
diberbagai kesempatan, kegiatan dan secara merata di berbagai pelosok wilayah.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Konservasi
wilayah pesisir mencakup pemanfaatan, perlindungan, pelestarian, serta
terjaminnya ekosistem yang berkesinambungan. Konservasi wilayah pesisir
di sini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan. Pembangunan yang
berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat
ini dan kebutuhan generasi mendatang.
Untuk
melaksanakan strategi konservasi wilayah pesisir yang berkelanjutan, harus
didukung komitmen dari stakeholder (pihak-pihak yang terkait) wilayah
pesisir diiringi dengan penerapan etika lingkungan berdasarkan prinsip
ekosentrisme.
4.2 Saran
Sebaiknya pemerintah membantu dalam konservasi
pengembalian wilayah pesisir pantai sehingga banyak manfaat yang bisa kita
dapatkan ketika kita membantu menyukseskan konservasi wilayah pesisir pantai
ujung blang lhoksemawe ini
DAFTAR PUSTAKA
Cincin-Sain
B., and Robert W.B. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management.
Concepts and Practices. Island Press Washington, DC.
Covello,California
Dahuri, R., 2000. Analisis Kebijakan dan Program
Penglolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Makalah disampaikan
pada Pelatihan Menajemen Wilayah Pesisir. Fakultas Perikanan dan Kelautan
IPB. Bogor.
Dahuri,
H.R., J. Rais, S.P. Ginting dan H.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Prandya Paramita, Jakarta.
Dahuri,
(2003 : 26-143)
Departemen
Kelautan dan Perikanan, 2007. Program pengembangan Wilayah Pesisir di
Indonesia, 2007. Jakarta.
Dinas
Kelautan dan Perikanan, 2012. Statistik Perikanan Tangkap, 2012. Bengkulu.
Hermawan,
M.2006.Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil (Kasus Perikanan Pantai di
Serang dan Tegal. Disertai S3 Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Fauzi,A.
Dan S. Anna.2002.Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan : Aplikasi
Pendekatan Rapfish (Studi Kasus Perairan DKI Jakarta). Jurnal Pesisir dan
Lautan Vol.4 (3).pp: 43-55.
Fauzi
dan Anna, 2005.
Hartrisari,
H.H. 2002. Panduan Lokakarya Analisis Prospektif. Fakultas Teknologi Pertanian.
Jurusan Teknik dan Teknologi Industri. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Munasinghe,
M. 1993. Environmental Economic and Sustainable Development. The
International Bank for Reconstruction and Development/THE WORD BANK. Washintong
D.C. 20433. U.S.A.
Purba
ed, 2002 : 18-20)
Rangkuti,
F.1999. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta.
Supriharyono.
2000. Pelestarian Dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir
Tropis.
Wiratno
et al, 2004 :144